🕵️♂️Negeri yang Menjual Warganya Lewat Data
“Kita tidak lagi dijajah dengan senjata,tapi dengan syarat dan ketentuan yang tidak kita baca.”
— Refleksi Dicki Lesmana
🌍 Dunia Sudah Berubah — Tapi Kita Masih Nyenyak Tidur
Sekarang, ia datang dalam bentuk pop-up notifikasi.
Dulu, kita dipaksa menyerahkan tanah.
Sekarang, kita menyerahkan pikiran dan kebiasaan kita secara sukarela.
Tanpa sadar, kita bukan lagi rakyat.
Kita adalah produk. Kita adalah angka di sistem global.
Dan kini, konon pemerintah sedang membuka pintu itu lebar-lebar ke Amerika Serikat.
🇺🇸 Apa yang Terjadi Sebenarnya?
Dalam sebuah negosiasi dagang, Indonesia dan Amerika dikabarkan menyepakati “transfer data pribadi.”
Bahasanya sopan.
Tapi maknanya dalam:
➡️ Data rakyat Indonesia — kamu, aku, kita semua — bisa diproses, dianalisis, dan dikendalikan dari luar negeri.
Pertanyaannya: Kenapa harus Amerika yang pegang?
🔍 Kenapa Mereka Mau Data Kita?
Karena hari ini, data lebih mahal dari emas.
Data menentukan siapa yang akan menang pemilu.
Data menentukan apakah kamu akan demo, depresi, atau diam.
Amerika bukan hanya ingin menjual ke kita —
mereka ingin tahu cara kita berpikir sebelum kita sendiri tahu.
⚠️ Apa Risikonya Bagi Kita?
Privasi? Hilang. Bahkan kamu sendiri gak tahu siapa yang tahu kamu lagi mikir apa.
Kedaulatan? Goyah. Bayangkan: warga Indonesia, tapi datanya disimpan, dikontrol, dan dimanfaatkan dari Washington DC.
Politik? Bisa dimanipulasi. Mereka bisa memprediksi sentimen publik dan mengarahkan opini.
Ekonomi? Rugi. Kita jadi lahan percobaan AI gratis, tapi beli teknologinya mahal.
"Ini seperti kamu kasih otakmu ke orang lain,lalu beli balik hasil pikirannya dengan harga tinggi.”
💬 Lalu, Kenapa Pemerintah Mau?
Jawaban klasik: “Demi investasi, kerja sama, dan kemajuan digital.”
Kedengarannya bijak, ya?
Padahal...
➡️ Itu seperti menukar satu mangkok bakso dengan seluruh rumahmu, karena kamu lapar sebentar.
➡️ Kita dikasih janji manis investasi, padahal yang mereka incar bukan kita — tapi pikiran kita.
🔒 Tapi Kan Ada UU Perlindungan Data?
Iya, UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) memang ada.
Tapi ingat:
Hukum hanya sekuat niat penegaknya.Dan perusahaan teknologi luar bisa lebih lihai dari pasal-pasal.
Lagipula…
Apa gunanya UU, jika rakyat tidak tahu bahwa datanya sedang “diperdagangkan”?
🧠 Kita Sedang Dijual dengan Cara Lembut
“Penjajahan hari ini tidak pakai rantai,
tapi pakai akses Wi-Fi.”
Kita bahagia saat teknologi memudahkan.
Tapi di balik kenyamanan itu, ada algoritma yang perlahan membentuk kita.
Membentuk selera, membentuk opini, membentuk keinginan — bahkan sebelum kita sadar.
Kita merasa memilih. Tapi sebenarnya kita sedang diarahkan.
🔥 Jadi Apa Yang Harus Dilakukan?
1. Jangan diam. Pahami bahwa datamu bukan milik negara, apalagi korporasi — itu milikmu.
2. Desak transparansi. Tanyakan: data apa yang ditransfer? Untuk siapa? Apa imbal baliknya?
3. Bangun kesadaran digital. Edukasi dirimu dan sekitarmu. Jangan biarkan rakyat jadi korban diam.
4. Beri tekanan. Media sosial, petisi, konten digital, opini publik — ini senjata zaman sekarang.
📣 Kata-Kata Penutup.
“Kita sedang dijual. Bukan lewat kontrak, tapi lewat klik.”
— Dicki Lesmana
“Demokrasi bisa mati bukan karena kudeta, tapi karena data.”
— Dicki Lesmana
.jpg)



Komentar
Posting Komentar